100.000 tanda tangan untuk petisi 100 alasan – Erdoğan harus dituntut karena kebijakan feminisidal nya!
Suatu ketika, AKP berjanji untuk mendemokratisasi Turki, untuk menerapkan keadilan, untuk menyelesaikan masalah-masalah domestik seperti masalah Kurdi melalui sarana politik; untuk membangun sistem parlementer demokratis yang pluralistik, tanpa toleransi terhadap penyiksaan, dan tanpa masalah dengan negara tetangga. Selama bertahun-tahun, janji-janji ini meningkatkan ekspektasi akan tuntutan mendesak untuk perubahan yang dilakukan oleh masyarakat. Di antara janji-janji itu adalah perjuangan melawan seksisme dan kesetaraan gender. Dalam 18 tahun pemerintahan AKP, negara Turki tidak hanya tidak memenuhi janji-janji ini; itu telah mengambil langkah mundur yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bersama dengan mitra koalisinya, Partai Gerakan Nasionalis (MHP) ultra-nasionalis, pemerintah telah membentuk pemerintahan satu orang fasis / diktatorial, menguasai seluruh badan negara, menghapus kebebasan berpikir dan berekspresi, mengubah sistem peradilan menjadi kendaraan terbesar untuk ketidakadilan, dan pembongkaran pembagian kekuasaan.
Pemerintah Erdoğan dengan serampangan menggunakan semua sumber daya negara untuk melawan mereka yang menentang aturannya.
Seperti di tempat lain di dunia, perempuan adalah kekuatan perlawanan yang penting di Turki. Gerakan Perempuan Kurdi berada di garis depan kebangkitan perempuan yang serius. Bukan kebetulan bahwa kebijakan feminisidal Erdoğan meningkat seiring dengan meningkatnya kebangkitan ini. Dengan feminisida, negara berusaha untuk melenyapkan oposisi dan dengan demikian setiap kekuatan prospektif untuk perubahan. Tujuannya adalah untuk menyandera masyarakat.
Fakta bahwa feminisida masih belum diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berarti bahwa negara dan diktator tidak takut dimintai pertanggungjawaban. Selama feminisida tidak diperlakukan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak mungkin untuk benar-benar menentang serangan terhadap masyarakat seperti genosida.
Dengan kampanye ini, kami ingin mengekspos dan menarik perhatian pada kebijakan feminisidal AKP. Kami ingin mencari keadilan dan menuntut penuntutan untuk Erdogan. Kami ingin menjadi suara bagi semua perempuan di dunia yang menjadi korban kekerasan, dan menarik perhatian semua kejahatan negara terhadap perempuan.
Kami ingin mengakhiri kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan di Republik Turki dalam skala feminisidal, di mana seorang wanita dibunuh oleh kekerasan pria setiap hari.
Dengan kampanye ini, kami ingin feminisida diakui secara internasional sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Tambahkan tanda tangan Anda pada tuntutan kami. Tidak ada toleransi terhadap feminisida.
Biro Internasional Partai Komunis Marxis-Leninis Turki/Kurdistan (MLKP Turkey/Kurdistan) melalui akun Twitter resminya, sebagai persiapan untuk 8 Maret yang adalah Hari Perempuan Internasional, merilis video “8 Gerakan Pertahanan Diri Yang Setiap Perempuan Harus Berlatih”. Berikut twitnya:
Marxist Leninist Party of Germany (MLPD) creates a six-part film series “No Chance for Anticommunism!” Four parts have been released. The English version of this series, as well as the German original, can be watched on their Youtube channel.
Pandangan yang menyatakan komunisme –Marxisme-Leninisme, kata “komunisme” sendiri sebenarnya dapat digunakan untuk merujuk banyak hal– sebagai ideologi gagal berpusat pada ide bahwa hari ini tidak ada lagi ‘negara-negara komunis’ (/sosialis) atau negara-negara yang benar-benar mengamalkan komunisme. Uni Republik-Republik Sosialis Soviet (URSS) dan ‘rezim-rezim komunis’ Eropa Timur telah runtuh. Demokrasi liberal telah menang. Yang disebut negara-negara komunis hari ini telah melakukan reforma-reforma berorientasi ekonomi pasar, membuka kesempatan untuk produksi privat dalam skala luas yang maka dari itu ‘menyerah’ kepada kapitalisme. Lebih lanjut, komunisme hanya memberi janji dan tidak benar-benar memenuhi kebutuhan orang-orang. Orang-orang di negara komunis hidup dalam kelaparan dan ketakutan. Komunisme selalu melahirkan diktator totalitarian. Banyak orang yang dibunuh di bawah rezim komunis. Agama dimusuhi dan orang-orang dipaksa menjadi atheis (/nonreligious). Jauh lebih dalam lagi, banyak partai-partai komunis di negara-negara kapitalis hari ini telah meninggalkan perjuangan revolusioner, seperti perang rakyat (dalam kasus Maois), dan memilih ikut serta dalam pemilu parlemen dan bersaing dengan partai bourgeois lainnya. Dan barangkali masih ada begitu banyak alasan lainnya baik yang didasarkan pada kenyataan dan yang tidak didasarkan pada kenyataan atau sekadar kebohongan yang senantiasa diproduksi dan direproduksi oleh bourgeoisie untuk mengontrol hati dan pikiran orang-orang.
Aku pikir tidak. Ada banyak contoh revolusi yang berhasil.
Revolusi berhasil yang paling diketahui adalah URSS. URSS memang tidak dapat bertahan sampai hari ini, namun, posisinya dalam perjalanan sejarah harus dikatakan sebegitu signifikan. Kehadirannya adalah yang pertama membuktikan bahwa tahap awal dari komunisme atau masa transisi menuju komunisme dapat dicapai. Itu menunjukkan bahwa setelah kapitalisme akan ada komunisme atau dengan kata lain, kelas buruh memiliki dunia untuk dimenangkan! Kuba komunis adalah salah satu negara yang suka dipuja-puji orang-orang kiri. Referendum terakhir di sana membuktikan sesuatu yang jauh lebih demokratik daripada negara-negara yang melabeli dirinya “negara demokratis”. Republis Sosialis Vietnam, sekalipun telah melakukan reforma-reforma pasar, misalnya reforma Doi Moi, masih dibela orang-orang komunis. Republik Rakyat Tiongkok hanya dibela oleh orang-orang komunis yang lebih moderat. Kelompok yang lebih radikal, seperti Maois, memegang pandangan anti-revisionis yang ketat dan memandang RRT sebagai sosio-imperialis.
Ada banyak orang percaya pada ‘sihir’ (/sains)-nya dan berjuang untuk pembebasan diri mereka.
Pandangan umum memposisikan orang-orang yang mendukung komunis sebagai ‘orang bodoh’ yang tersihir, tetapi bagi mereka yang terlibat dalam perjuangan, apa yang dilakukannya adalah jalan yang benar yang didasarkan pada teori yang benar pula (tidak berarti praktiknya selalu benar). Di tanah Indonesia sendiri, ada revolusi komunis sekalipun tidak berhasil.
Bahkan orang-orang yang telah ‘terbebaskan’ dari komunisme justru mengharapkannya kembali.
Setelah pembubaran URSS dan runtuhnya Tembok Berlin, rakyat di negeri-negeri ini menyambut “kebebasan” yang mereka idamkan sejak lama. Tetapi, mengalami “kebebasan” itu sendiri orang-orang yang sama justru menjadi kecewa. “Kebebasan” demokrasi liberal dan kapitalisme ternyata berbeda dengan apa yang mereka harapkan. Di bawah “kebebasan” ini mereka kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga yang tidak mungkin mereka dapat dalam basis produksi privat, ketika tanah-tanah, industri-industri, dan layanan publik yang penting (seperti kesehatan) diprivatisasi (saya tidak akan membahas perubahan-perubahan yang terjadi sejak Khruschev di sini). Apa yang terjadi selanjutnya adalah nostalgia ramai-ramai.
Komunisme ada di sana dan di sini, di dalam pikiran dan terwujud dalam perjuangan. Dan ia berhasil.
Apinya masih menyala sampai hari ini dan belum akan atau barangkali tidak akan padam sebelum kelas buruh terbebaskan dari belenggunya.
Maka dari itu, kelas penguasa, bourgeoisie, hidup dalam ketakutan. Mereka dihantui.
Bourgeoisie terlalu cepat mendeklarasikan akhir dari sejarah. Pada kenyataan, sejarah tidaklah setia kepadanya.
Karena ia berhasil, bourgeoisieharus melancarkan berbagai upaya untuk mensabotasenya, merusaknya, dan menghancurkannya. Mereka mengirim agen-agen intelijen untuk mempelajari dan melancarkan sabotase dan perang psikologis. Mereka mengirim tentara-tentara untuk membunuhi orang-orang yang melawan dan memadamkan perjuangan.
Pengadilan Moskow 1936-37-38 dilaksanakan untuk mengadili orang-orang yang ingin menghancurkan, atau minimal melemahkan URSS dari dalam dengan terorisme dan sabotase. Tembok Berlin dibangun dengan tujuan pengawasan daerah perbatasan, terutama untuk menghalangi keluar-masuk agen-agen intelijen asing. Perang Vietnam dan Perang Korea: perang melawan okupasi imperialis Amerika Serikat. Kudeta fasis di beberapa negeri, termasuk Indonesia, mendapat dukungan Central Intelligence Agency (CIA).
Mereka harus melakukan semua ini karena ideologi ini sebegitu berhasil dan kuat. Adalah bahwa ia tidak akan runtuh dengan sendirinya. Orang-orang yang mengalami revolusi yang berhasil tahu bahwa mereka tidak boleh kembali ke keadaan sebelum revolusi. Mereka tidak akan melepaskan ‘kebebasan’ ini untuk kembali hidup dieksploitasi di bawah kapitalisme. Mereka bangun dan melawan. Mereka akan mempertahankan revolusi.
Perlukah saya menjelaskan ini setelah semua yang di atas?
Sudah banyak waktu terlewati sejak terakhir saya mempos tulisan terakhir di blog ini. Kali ini adalah tulisan tentang pengalaman pribadi.
Saya (diharuskan) mengikuti pembelajaran dan ujian sertifikasi. Dari beberapa opsi yang tersedia, aku memilih tentang branding. Barangkali terdengar postmodernis, aku cukup menikmati melihat dan berpartisipasi dalam omong kosong yang disebut brand ini. Tentu saja, apa yang akan saya temukan dari ‘benda’ semacam ini sebagian besar hanyalah sekumpulan kengerian. Sekalipun begitu, saya tidak begitu mengerti kenapa saya tidak bisa menghentikan diri untuk menyelami lautan kengerian ini. Apakah ini semacam masokisme?
Salah satu hal mengerikan yang saya temukan adalah konsepsi tentang “nilai”. Sementara nilai itu sendiri dapat merujuk ke hal-hal berbeda, seperti nilai dalam pertimbangan etis berbeda dengan nilai dalam artian sekumpulan informasi berbentuk data, nilai yang dibahas di sini adalah nilai yang berkaitan dengan apa yang dipelajari. Untuk memahami branding, setidaknya dibutuhkan pengetahuan mengenai marketing.
Berdasarkan modul pembelajaran yang saya terima, marketing dalah tentang menciptakan nilai dan tidak sekadar membuat barang dan jasa. Hasil dari pemasaran adalah nilai. Nilai adalah “total get dibagi total give,” “apa yang didapatkan dibandingkan dengan apa yang harus dikorbankan.” Total get adalah hal yang didapat pelanggan berupa manfaat-manfaat fungsional, emosional, dan sosial. Total give adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk harga dan/atau biaya lain. Dan tugas seorang pemasar adalah menunjukkan bahwa nilai dari produk kita harus lebih besar daripada kompetitor.
Ide tentang nilai ini sebenarnya cukup individualis dan jika dikaitkan dengan tatanan masyarakat yang hari ini kita tinggali ia cukup borjuis. Konsepsi di atas setidaknya mengandung asumsi bahwa setiap manusia mengharapkan dan berusaha mencari keuntungan, total get harus lebih tinggi daripada total give. Pandangan umum tentunya tidak menemukan kesalahan dalam ide ini karena menang tidak ada yang perlu disalahkan. Ia benar sejauhmana ia benar.
Dalam setiap kejadian dalam hidup, ada yang saya dapatkan dan ada yang saya korbankan. Tetapi, kehidupan saya sendiri tidak ditujukan untuk mendapatkan sesuatu dan mengorbankan sesuatu. Ada hal(-hal) yang lain yang menggerakan saya, yang itu bukanlah ‘hasrat keuntungan’ yang sederhana. Hal yang lain ini tidak diucapkan karena memanglah tidak perlu diucapkan. Sains tidak punya urusan dengan itu selama ia tidak berkaitan dengan pola.
Sementara sains yang semacam itu telah berkali-kali dikritik, dalam tingkatan ideologis ide ini mengontrol orang-orang untuk berpikir bahwa produksi dan konsumsi hanya mungkin terjadi dengan cara yang demikian orang-orang umumnya ketahui: harus ada sosok-sosok manusia yang menguasai sarana produksi dan menghisap tenaga buruh + bonus kemewahan (bourgeoisie), menjalankan produksi dan menerima upah (proletariat), dan memberi jaminan untuk model ekonomi ini dapat terus berjalan (negara borjuis dan aparatur ideologisnya).
Barangkali ini terdengar seperti propaganda komunis, tetapi sekalipun ide mengenai sosialisme baru menemukan karakteristik ilmiahnya belakangan ini, komunisme/sosialisme (saya memahami kata ini dalam artian mode produksi dan bukan ideologi politik tertentu) itu sendiri dan ide-ide tentangnya bukanlah hal yang baru muncul pada abad ke-19, yang maka dari itu saya pikir fobia komunisme lebih dekat pada kepentingan bourgeoisie (dan para penjil*tnya) daripada buruh-buruh semua yang bekerja keras untuk memenuhi setiap kebutuhan orang-orang.
Aku menulis ini dimotivasi dari mengetahui posisi sebuah organisasi sosialis di Indonesia yang menolak teori patriarki [1]. Aku memahami kontribusi Marxisme pada penjelasan akan ketertindasan perempuan [2], tetapi aku pikir ini adalah sebuah posisi yang tidak produktif, yang alasannya akan aku utarakan nanti. Pada awalnya menulis ini menjadi sesuatu yang tidak mendesak untukku, tetapi melihat pos-pos di Facebook yang sungguh menunjukkan kedangkalan pemahaman akan feminisme (yang ini banyak didukung laki-laki pula) membuatku ingin segera merespons ini.
Kembali ke persoalan utama, untuk menjawab ini aku uraikan dahulu argumen mereka mengenai patriarki dan alasan menolaknya, kemudian aku menunjukkan ketidaksepakatanku atas itu.
Pertama, definsi patriarki. Mengutip Encyclopedia of Feminism (1986), “patriarki adalah struktur politik universal yang memprivilesekan para laki-laki dengan mengorbankan kaum perempuan.” Lebih lanjut, mengutip Bloodworth (1990), patriarki merupakan “sistem sosial dimana kaum laki-laki memegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran-peran kepemimpinan politik, privilese sosial, dan menguasai properti/hak milik dengan secara spesifik menyingkirkan sebagian besar perempuan, atau menyatakan terdapat perbedaan fundamental antara laki-laki dan perempuan yang darinya kaum laki-laki memperoleh kekuasaan.” Tidak setuju dengan ini, kelaslah yang dipandang sebagai asal usul ketertindasan perempuan, “kenyataannya garis kelas membelah segalanya, termasuk dalam hal ini, jenis kelamin”.
Apa yang diambil di sini sebagai definisi dari patriarki adalah benar. Haruslah diakui bahwa pada kenyataannya dalam sejarah panjang kehidupan manusia, laki-lakilah yang mendominasi sekalipun pernah ada satu masa jauh di masa lampau di mana ‘dunia manusia’ lebih adil dari sekarang ini [3]. Penindasan perempuan memang memiliki keterkaitan dengan hadirnya masyarakat kelas, tetapi ide bahwa penindasan perempuan dapat dihapuskan dengan hanya menghapuskan masyarakat kelas, menciptakan masyarakat tanpa kelas, sungguhlah sebuah kebutaan dalam memahami pengalaman ketertindasan yang spesifik dialami perempuan, terutama yang tidak berkaitan langsung dengan kelas.
Kedua, akar penindasan perempuan. Seksisme, diskriminasi antara jenis kelamin yang berbeda, dinyatakan sebagai akar dari penindasan dan bukannya patriarki. Idenya berpusat pada keluarga inti (batih) dan kepentingan kapitalisme untuk mempertahankannya, yaitu bahwa “kapitalisme berkepentingan mengontrol tubuh perempuan untuk mereproduksi suplai tenaga kerja di masa depan, baik sebagai buruh berupah rendah, maupun sebagai sasaran eksploitasi seksual dan komodifikasi tubuh perempuan,” mirip dengan apa yang aku kutip untuk tulisan “Feminis Marxis Seharusnya Inklusif Transgender: Tentang Kasus Partai Komunis Britania Raya (Marxis-Leninis).”
Ide tentang seksisme tentulah benar dan aku tidak menolak ini. Seksisme dapat memberikan kita penjelasan mengenai eksklusi perempuan dari kehidupan yang umumnya dikuasai laki-laki, seperti politik dan hukum. Tetapi, cukupkah itu untuk menjelaskan asal-usul kekerasan terhadap perempuan, misalnya? Mengapa perempuanlah yang menjadi target kekerasan (pelecehan dan pemerkosaan) terlepas dari asal usul kelasnya? Seksisme barangkali punya pengaruh di sini, meskipun menggunakan alasan ini saja terkesan memaksakan. Pendekatan ke kriminologi marxis sebagaimana aku kutip untuk tulisan “Mencurigai sesuatu di balik paedophilia” sepertinya lebih baik dalam menjelaskan ini daripada sekadar teori seksisme, yaitu kaitan antara kompetisi dengan dominasi, ideologi dibalik apa yang kita konsumsi, dan ketidaksetaraan ekonomi.
Namun, kekerasan laki-laki terhadap perempuan lebih berkaitan pada kenyataan bahwa laki-laki masih mendominasi di dalam kehidupan privat dan publik. Kekerasan itu timbul dari dan/atau untuk berkuasanya laki-laki [4]. Pembebasan perempuan hanya dimungkinkan dengan membongkar struktur patriarkis. Ya! Sebagaimana “tak ada pembebasan perempuan tanpa perjuangan kelas dan tak ada perjuangan kelas tanpa pembebasan perempuan.”, dalam menjelaskan ketertindasan perempuan, Marxisme membutuhkan Feminisme dan begitu pula sebaliknya. Menurutku, pernyataan oleh Ruth Indiah Rahayu dalam wawancara yang diterbitkan di situs Indoprogess berikut sangatlah perlu direfleksikan [5].
“Dengan melihat pengalaman sejarah, titik temu Marxisme dan Feminisme ada pada analisa kapitalisme, tetapi seringkali terjadi titik lepas pada analisa patriarki terhadap reproduksi dan seksualitas. Meski di dalam agenda sosialisme disepakati untuk menghancurkan patriarki, tetapi bahkan di dalam pengalaman negara sosialis, gerakan dan partai kelas pekerja yang mendambakan sosialisme, patriarki hidup di dalam kesadaran dan tindakannya. Kekecewaan ini pernah menghantui Aleksandra Kollontai, atau aktivis perempuan sosialis awal abad 20, termasuk di negara-negara mantan jajahan di Amerika Latin, Asia dan Afrika sampai dewasa ini. Cerita di Indonesia dapat ditulis secara khusus mengenai hal ini. Maka saya tegaskan, persoalan patriarki inilah yang menjadi ancaman keterpecahan gerakan perempuan dan gerakan kelas pekerja, atau antara perjuangan kelas dan pembebasan perempuan.”
Aku hanya dapat menemukan dua itu karena aku tidak bisa mendapatkan akses ke tulisan lengkap mereka yang diterbitkan di ‘koran perjuangan’ mereka. Tetapi, sekiranya pembaca bisa memahami apa yang aku coba katakan di sini. Tulisan ini hanya dimaksudkan untuk mengingatkan kawan-kawan sosialis untuk berhati-hati mengambil sikap dan aku pikir tulisan ini tidak membuatku kurang Marxis atau Leninis karena aku menemukan diriku memiliki banyak kesetujuan dengan Marx-Engels dan Lenin dan mendukung perjuangan kawan-kawan sosialis. Sejujurnya aku hampir terjatuh pada posisi yang mirip dengan kasus ini. Pertemuanku dengan buku Sylvia Walby berjudul “Theorizing Patriarchy” (Indonesia: Teorisasi Patriarki) membantuku untuk mempertimbangkan kembali posisi tersebut.
“The weapon of criticism cannot, of course, replace criticism of the weapon, material force must be overthrown by material force; but theory also becomes a material force as soon as it has gripped the masses.”
(Senjata kritisisme tidak dapat, tentunya, menggantikan kritisisme dengan senjata, kekuatan material harus digulingkan oleh kekuatan material; tetapi teori juga menjadi sebuah kekuatan material seketika ia telah menggemgam massa.”
Pada abad ke-20, Kerajaan Albion memonopoli suatu zat yang disebut “Cavorite” untuk membangun sebuah armada angkatan udara yang besar. Ini menjadikan Albion sebagai kekuatan yang dominan di dunia. Proletariat di Albion, namun, marah karena kelas penguasa di negara mereka tidak mempedulikan keadaan buruk yang dialami oleh mereka. Ini menimbulkan “Revolusi London” di mana kelas-kelas bawah mencoba menggulingkan keluarga kerajaan. Kedua sisi menemui jalan buntu dan sebuah tembok besar dibangun di tengah kota London yang memisahkan Albion menjadi dua negara: Persemakmuran dan Kerajaan.
Beberapa tahun berlalu, Persemakmuran melancarkan “Operasi Changeling”, sebuah rencana untuk menggantikan Putri Charlotte dari Kerjaan dengan Ange, seorang gadis yang begitu mirip dengannya untuk mendapatkan agen yang memiliki posisi tinggi di keluarga kerajaan. Namun, Putri membalikkan rencana ini, menawarkan diri bekerja sama dengan Persemakmuran jika Ange dan teman-temannya membantu Putri menjadi Ratu Kerajaan. [1]
Princess Principal merupakan animasi yang cukup diapresiasi karena penggambaran kehidupan agen intelijen/mata-mata yang bagus dan hubungan yuri antarkarakter dalam cerita. Aku sendiri dulu menonton ini karena potensi yuri-nya :3. Kini, aku yang lebih sadar politik menemukan bahwa cerita dalam anime ini memiliki narasi yang berkaitan erat dengan politik kiri. Selain plot dari cerita anime ini sendiri (yang tertulis di paragraf pertama) yang menunjukkan keterkaitan cerita dengan revolusi kelas buruh, aku menemukan diriku, teringat bukunya Friedrich Engels berjudul The Condition of the Working Class in England (Indonesia: Kondisi Kelas Buruh di Inggris) ketika menonton anime ini (meskipun yang digambarkan di anime ini tidak sedetail yang dituliskan di buku tersebut). Aku menuliskan di sini hal-hal yang aku temukan dan di akhir aku akan memberi pendapat mengenai seri movie lanjutan dari anime ini yang bagian pertamanya akan rilis pada April mendatang. PERINGATAN: BANYAK BOCORAN CERITA
Penggambaran Kehidupan Kelas Buruh di Kerajaan Albion
Gambar 2. Kelas pekerja era Victorian. (coba cari gambar kelas pekerja era victorian di internet untuk dibandingkan, misalnya yang satu ini)
Anime ini mengambil durasi yang tidak begitu banyak untuk menggambarkan pengalaman-pengalaman kehidupan rakyat buruh jelata (dan lumpenproletariat). Di episode ke-6, Dorothy, seorang mata-mata dari (negara) Persemakmuran, diberi tugas untuk mengambil sandi Kementerian Luar Negeri (negara) Kerajaan yang disembunyikan di dalam tubuh mayat penghubung (pesan) di sebuah kamar mayat sebelum suruhan dinas intelijen dari Kerajaan menemukannya. Ayah Dorothy adalah orang suruhan tersebut. Darinya, Dorothy mendapat informasi mengenai ciri-ciri mayat penghubung tersebut. Ayah Dorothy menerima pekerjaan ini karena ia dijanjikan bayaran tinggi yang mana uang yang akan ia dapat akan digunakan untuk melunasi hutang dan keluar dari kehidupan menyedihkannya rakyat jelata. Orang-orang yang bekerja di kamar mayat itu adalah orang-orang dewasa baik perempuan dan laki-laki. Beberapa sudah berumur tua. Setiap orang memiliki alasan masing-masing untuk bekerja di sana. Ada, misalnya, bekas tentara, yang telah membunuh banyak orang dan kehilangan semua kawan-kawannya dahulu, bekerja di sini memberinya ketenangan. Ada pula yang hanya ingin mencari tempat sunyi, tidak diganggu oleh hiruk-pikuk dunia.
Reuni antara Dorothy dan ayahnya tidaklah menyenangkan pada awalnya dan berakhir menyedihkan. Ayah Dorothy dulu, sewaktu Dorothy masih kecil, adalah seorang teknisi uap yang handal. Karena kecelakaan, ia mengalami cedera dan itu mengubah dirinya. Ia menjadi membenci orang-orang disekitarnya, iri pada mereka. Ia melemparkan segala masalahnya pada orang lain. Ia juga tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Dorothy sering dipukuli ayahnya sampai babak belur, lalu setiap kali selesai memukulinya, ayahnya menangis dan meminta maaf. Ibunya telah pergi meninggalkan keduanya dahulu karena perilaku ayahnya. Dorothy kabur ke Persemakmuran dan pada hari yang sama revolusi terjadi sehingga keduanya tidak lagi hidup bersama untuk waktu yang lama. Hubungan antara Dorothy dengan ayahnya sebenarnya membaik sampai akhir cerita episode ke-6. Dorothy senang ketika mengetahui ayahnya yang dipukuli penagih hutang mau membela Dorothy ketika ditawari untuk menukar Dorothy dengan pelunasan hutang sekaligus bunganya dan ketika menjanjikan akan membelikan pakaian bagus setelah mendapat bayaran dari pekerjaan tersebut. Sayangnya, ayah Dorothy hanya ditipu. Ia dibunuh ketika meminta bayaran atas pekerjaannya mencari sandi rahasia tersebut, yang telah disalin oleh Dorothy sebelum diberikan kepada ayahnya.
Gambar 3. Anak-anak perempuan pekerja di pabrik pencucian.
Pada episode ke-7, cerita berlatar di industri pencucian (laundry) yang mana pekerja-pekerjanya adalah anak-anak perempuan. Pekerja anak-anak ini tidak mendapat perlakuan buruk, meskipun bos mereka memiliki kemampuan manajerial yang sangat buruk dan pelit. Apa yang penting dari episode ini barangkali adalah setereotip gender dalam pembagian kerja dan swakelola oleh pekerja. Misalnya, semua pekerja tambang dan tentara adalah laki-laki. Pekerjaan mencuci dilakukan oleh perempuan. Seorang tentara laki-laki yang menjadi target dari mata-mata Persemakmuran mencuci sendiri pakaiannya, untuk menghilangkan bekas gas saraf dari seragam tentaranya, dan diejek seorang dari tentara karena kebiasaan mencucinya. Bagian menariknya adalah, mendekati akhir episode, Putri Charlotte, seorang putri Kerajaan yang merangkap menjadi mata-mata Persemakmuran, menyerahkan industri pencucian yang telah ia beli dari bos sebelumnya untuk dikelola oleh anak-anak perempuan sendiri. Atas dasar keputusan bersama antara anak-anak yang bekerja di industri tersebut, salah satu anak yang paling tua dan mahir ditunjuk menjadi manajer.
Gambar 4. Julie, seorang anak perempuan pencopet.
Pada episode ke-8, Ange, seorang mata-mata Persemakmuran yang berada dalam satu tim “Principal” (menurut dinas intelijen Persemakmuran) /”Merpati Putih” (nama yang mereka tentukan sendiri) dengan Dorothy, Putri Charlotte dan dua anggota lainnya, yang sedang melakukan misi pengawasan dengan kedok melukis di taman melihat seorang anak pencopet bernama Julie. Julie adalah seorang anak perempuan yatim piatu yang dipekerjakan secara paksa sebagai pencopet oleh seorang pria miskin. Ange membantu Julie dengan memberitahu Julie cara mencopet yang efektif. Pada kesempatan lain, untuk mendukung misinya, Ange meminta Julie untuk mencopet seseorang yang menjadi target pengawasannya. Setelah misinya selesai, Ange mendatangi tempat tinggal pria yang mempekerjakan Julie dan empat anak lain, melemparnya keluar ketika pria itu sedang menyakiti anak-anak tersebut. Di luar dugaan, Ange memberi sebuah surat pengantar untuk sebuah panti asuhan di Stanford Hill kepada Julie, memintanya pergi ke sana. Ketika ditanya Julie kenapa Ange melakukan semua ini untuknya, Ange mengatakan ini sebagai tanda terima kasih karena telah mau membantu Ange. Meskipun apa yang diminta Ange gagal dilakukan oleh Julie, hal tersebut telah cukup membantu bagi Ange.
Revolusi Kelas Buruh dan Putri Yang Ingin Menjadi Ratu Terakhir Kerajaan
Gambar 5. Mayor Yngwie.
Di episode akhir, ada sebuah upaya revolusi oleh sekelompok tentara kolonial di Kerajaan yang merasa negara-negara kolonial telah ditindas oleh Kerajaan. Berikut pernyataan Mayor Yngwie, seorang yang bertanggung jawab atas atau menjadi pemimpin upaya revolusi ini, tentang hal tersebut.
“Koloni diperintah oleh Kerajaan, dan sementara kebanyakan dari mereka adalah tenaga kerja, namun mereka hanya diberi sedikit hak asasi manusia. Wajar jika mereka marah. Tuan Putri Charlotte, saya bersumpah revolusi ini akan berhasil.” (semua kutipan percakapan merupakan terjemahan Bahasa Indonesia yang diperoleh dari LoliSekaiSubs.)
Mayor Yngwie juga menyatakan bahwa buruh-buruh bangunan, yang membangun gereja baru kerajaan di mana gedung itu akan diruntuhkan ketika keluarga kerajaan dan bangsawan-bangsawan menghadiri sebuah upacara doa di sana, ada di pihaknya. Dinas intelejen Persemakmuran juga ikut membantu. Sebelumnya, ada intrik antara ‘orang-orang di atas’ di Persemakmuran dan akibatnya dinas intelijen Persemakmuran dikuasai oleh orang-orang dari militer. Sejak awal, revolusi ini telah diperkirakan oleh Persemakmuran akan gagal. Meskipun begitu, orang-orang militer di Persemakmuran melihat ini cara efektif untuk menimbulkan perang sipil di Kerajaan.
Tim “Principal” dirombak sepenuhnya, meninggalkan Ange dan Putri Charlotte dibawah pengawasan ketat mata-mata lain. Ada konflik antara Ange dan Charlotte. Yang pertama ingin keduanya melarikan diri ke Casablanca, yang terakhir ingin melanjutkan ambisinya menjadi ratu untuk mengubah negaranya. Ange tidak ingin membunuh Charlotte sebagaimana ia ditugaskan untuk melakukan itu, sementara Charlotte telah bertekad untuk mendapatkan kekuasaan dan mengubah tatanan sosial yang tidak adil ini sehingga tidak ingin meninggalkan Kerajaan. Di bawah pengawasan di mana hanya salah satu dari mereka yang dibolehkan hidup, Charlotte meninggalkan Ange, kembali ke Kerajaan. Ange nantinya menyadari bahwa tindakan Charlotte bertujuan untuk menghindarkan Ange dari pengawasan dan kembali ke Kerajaan untuk menyelamatkan Charlotte yang berada di bawah ancaman kematian jika mencoba menghalangi upaya revolusi.
Charlotte sebenarnya bersimpati pada orang-orang yang ingin melakukan revolusi tersebut, memahami perasaan mereka dan Charlotte sendiri mendapat kepercayaan sebagai ratu baru bagi mereka yang memberontak, tetapi ia mencoba beberapa kali meyakinkan Mayor Yngwie sebelum revolusi dilancarkan untuk mempertimbangkan kembali jalan yang ia pilih. Pada detik-detik terakhir sebelum langit-langit gereja diruntuhkan, Charlotte berhasil meyakinkan Mayor Yngwie untuk membatalkan upaya revolusi, menyatakan bahwa dirinya akan menjadi ratu terakhir dan berakhir di guillotine. Berikut adalah percakapan yang terjadi pada adegan tersebut.
Charlotte: “Kau tidak boleh meruntuhkan langit-langitnya! Jika kau memulai revolusi melalui pertumpahan darah, maka seseorang pasti akan memulai revolusi baru untuk membenarkan kesalahanmu!”
Mayor: “Tuan putri, negara ini sudah rusak. Kami akan mengambil tindakan, memusnahkan hirarki sosial!”
Charlotte: “Aku paham perasaannmu! Karena itu aku bersumpah padamu, saat aku menjadi ratu, aku akan mengubah negara ini!”
Zelda: “Mayor. Jangan dengarkan dia. Kau sudah-“
Mayor: (memberi isyarat tangan untuk menghentikan Zelda berbicara) “Tuan putri. Sumpah yang Anda buat barusan berarti penyangkalan terhadap posisi Anda sendiri. Apakah Anda mampu mengubah negara ini?”
Charlotte: “Iya. Lalu sepertinya aku akan menjadi ratu terakhir. Kemungkinan aku akan berakhir di guillotine.” (Mayor dan beberapa tentaranya yang berjaga di sekitar tercengang.)
Mayor: “Kenapa Anda..” (Zelda segera menembak kaki Charlotte untuk mencegahnya berbicara. Charlotte menjerit kesakitan.) “Zelda! Apa yang kau-“
Zelda: “Jangan dengarkan kebohongannya. Revolusi ini bukan lagi hanya kehendakmu seorang.”
Charlotte: “Aku.. sudah berjanji.. Saat revolusi memisahkan temanku dariku.. aku berjanji akan membuat impiannya terwujud! Mungkin aku seorang penipu, tapi melihat negara ini selama 10 tahun terakhir, aku sadar. Bukan hanya kita. Begitu banyak orang di negara ini yang terpisah satu sama lain oleh dinding yang tak terlihat. Saat dia bilang ingin menyingkirkan Tembok, aku tidak tahu apa maksudnya. Jika itu bermaksud menghilangkan semua rasa sakit dan kesedihan, aku sangat ingin hal itu terwujud. Tapi aku merebut kesempatannya! Jadi sebagai gantinya, aku bersumpah akan mengubah negara ini!
Zelda: “Tuan putri. Jika Anda mengoceh hal yang tidak jelas, akan kubunuh sekarang.”
Mayor: (Membelakangi Charlotte. Menghalangi Zelda dari menembak Charlotte.)”Jangan! Negara ini membutuhkan beliau! Tolonglah, Zelda. Beri kami sedikit waktu. Sekarang kita masih bisa mencoba mencari tahu jika ini adalah solusi yang terbaik.”
Zelda: “Benarkah?” (menembak Mayor.)
Zelda adalah seorang mata-mata Persemakmuran yang ditunjuk menjadi ketua baru tim Principal dan mengawasi Ange dan Charlotte. Melihat pembelokan keadaan dari rencana, Zelda harus mengambil alih peran percobaan pembunuhan keluarga kerajaan. Ange dan anggota tim Principal lain yang asli (dalam artian sebelum dirombak) berhasil menyusup ke gereja dan menyelamatkan Charlotte. Zelda dapat melarikan diri, tetapi upaya revolusi dapat digagalkan sebelum dimulai. Setelah ini, intrik antara ‘orang-orang di atas’ di Persemakmuran telah mereda. Keanggotaan Control, tim dari dinas intelinjen yang bertanggung jawab atas kegiatan mematai-matai, yang sebelumnya berubah kembali ke semula.
Gambar 6. Ange dan Charlotte sewaktu kecil
Di percakapan yang dikutip di atas, Charlotte menyatakan dirinya adalah “penipu” dan ia hanya melanjutkan apa yang “temannya” dulu ingin perjuangkan. Ini merujuk ke identitas sebenarnya dari Ange dan Charlotte yang tertukar. Keduanya terlahir di keluarga yang berbeda, tetapi memiliki ciri-ciri fisik yang bisa dikatakan mirip sepenuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ange* (* = yang asli) berasal dari keluarga buruh miskin, sedangkan Charlotte* berasal dari keluarga kerajaan. Sewaktu kecil, karena rasa ingin tahu akan sisi lain dari dunia mereka, Ange* mencoba menyelinap masuk istana sedangkan Charlotte* mencoba menyelinap keluar istana. Keduanya pertama kali bertemu ketika keduanya akan melewati sebuah celah kecil di Tembok yang memisahkan istana dengan dunia luar. Ange* dan Charlotte* terkejut melihat sebegitu miripnya mereka berdua. Mereka menjadi teman dekat kemudian.
Suatu hari, Charlotte* yang ingin pergi ke luar istana meminta untuk bertukar tempat antara dirinya dan Ange*. Charlotte* dikejutkan oleh kenyataan kehidupan rakyat jelata yang tidak pernah ia ketahui. Pada hari itu, kelas buruh yang marah karena kemiskinan sementara anggota kerajaan hidup mewah melakukan revolusi. Charlotte* segera berlari kembali ke istana untuk menemui Ange*. Mereka sempat bertemu sebentar sebelum keduanya terpisahkan. Ange* yang berada di sisi Kerajaan tidak punya pilihan selain memainkan peran sebagai putri sesempurna mungkin. Sedangkan Charlotte* nantinya diadopsi oleh Badan Intelijen Persemakmuran untuk dilatih menjadi mata-mata. Dalam kesempatan yang singkat sebelum terpisah, Charlotte* memberitahu Ange* apa yang ingin dia lakukan.
Charlotte*: “Ange. Aku akan menjadi Ratu. Aku mempelajari sesuatu saat bertukar tempat denganmu. Ada banyak dinding tak terlihat yang memisahkan semua orang. Aku akan menjadi Ratu, dan menghancurkan dinding itu. Lalu, Ange, kita bisa bersama selamanya!”
Ange:*“Itu sebuah mimpi yang indah.”
Charlotte*: Itu bukanlah mimpi! Aku pasti akan membuatnya terwujud. Aku berjanji. Jadi..” (sebuah serangan meriam menghantam dinding yang mana runtuhannya merusak struktur jalan dan menjebloskan Charlotte ke bawah tanah sedangkan Ange* yang dikira sebagai Putri Charlotte diselamatkan oleh tentara-tentara kerajaan yang mendatangi tempat peristiwa)
Persoalan identitas telah diselesaikan oleh keduanya ketika mereka bertemu kembali 10 tahun setelah Revolusi London. Ange menerima bahwa Ange* yang mewarisi keinginan dan harapan dari Charlotte* telah menjadi “Charlotte” yang asli dan Charlotte begitu senang mendengar apa yang ia usahakan selama ini mendapat pengakuan dari pemilik identitas yang sesungguhnya.
Aku tahu ini tidak berhubungan dengan cerita tetapi entah disengaja atau tidak, ini memiliki referensi ke transgender. Berdasarkan informasi dari orang yang memainkan mobile game-nya Princess Principal, pemain dapat memilih gender karakter Ange apakah laki-laki atau perempuan. Sementara Charlotte adalah perempuan, jika Ange adalah laki-laki, maka pertukaran identitas mereka juga melibatkan pergantian gender mereka.
Penutup: Akankah movie baru Princess Principal membawa penonton menjelajahi wacana politik kiri lebih dalam?
Princess Principal merupakan proyek animasi orisinal yang diproduksi oleh studio 3Hz dan dirilis pada tahun 2017. Princess Principal sejak awal bukanlah anime yang bercerita tentang perjuangan rakyat buruh, maka kemungkinannya jauh lebih kecil dari yang aku harapkan. Meskipun begitu, mempertimbangkan perkembangan cerita yang terakhir, dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang seperti digambarkan di atas, ada kemungkinan pengarang akan mencoba menggali lebih lanjut persoalan buruh. Apalagi, mengingat di seri animasi yang pertama ini, Princess Principal belum memberikan petunjuk sama sekali negara seperti apakah Persemakmuran. Apakah itu negara sosialis? Apakah nasib buruh di sana lebih baik dibanding di Kerajaan? Bagaimana hubungan kedua negara ini dengan negara-negara lain? (mengingat ada beberapa adegan singkat yang menyinggung hubungan diplomatik dengan negara lain)
Ada sebuah posisi yang mengejutkanku dari Partai Komunis Britania Raya (Marxis-Leninis), yaitu bahwa mereka menolak transgenderisme. Mengenai posisi tersebut, aku baru mengetahuinya ketika menonton video berikut, perbincangan Caleb Maupin dengan Joti Brar, seorang anggota dari partai tersebut. Hal ini juga sebenarnya disampaikan dalam kongres ke-8 partai tersebut yang tulisan mengenai ini ada di situs jejaring partai itu berjudul The reactionary nightmare of ‘gender fluidity’.
Perbincangan ini sebenarnya cukup bagus. Ia membahas banyak hal tentang marxisme dan posisi partai komunis ini dalam beberapa masalah. Pada menit ke-28 dari video, Maupin mencoba mengangkat masalah transgender dan meminta Brar untuk memberi penjelasan mengenai posisi kontroversial dari partainya mengenai hal tersebut. Aku menonton kembali video ini, khusus di bagian masalah itu, dan menemukan beberapa hal yang menjadi argumen CPGB (ML) untuk menolak “ideologi transgenderisme”.
Permasalahan yang menjadi fokus sebenarnya adalah ideologi (bukan orang-orang transgender) yang ditimpakan (pushed) ke orang-orang bahwa “You are what you think you are” (kamu adalah apa yang kamu pikirkan). Sebagai seorang marxis, Joti Brar melihat bahwa ideologi transgenderisme ini merupakan sebuah konsepsi yang idealis dan bukannya materialis. Ia juga sempat menyebut “I think, therefore I am” (aku memikirkan, maka itulah aku) yang merupakan pernyataan Rene Descartes. Menurut Brar, seorang marxis tidak melihat kenyataan sebagai sesuatu yang dipikirkan melainkan sebagai apa yang ada secara material dan ‘kenyataan material’-lah yang menjadi dasar bagi pemikiran marxis. Jadi, ada materi, lalu otak kita menginterpretasinya, muncullah ide. Dari sini, kita tahu bahwa Brar paham betul mengenai posisi materialis-nya marxis.
Mengenai gender, ia melihat itu sebagai sesuatu yang tidak berbeda dengan seks (jenis kelamin). Stereotip gender-lah yang menurut dia seharusnya dipahami, yang mana ini merupakan sebuah konstruk sosial yang sebagian memiliki dasar material (tubuh) dan sebagian lainnya tidak. Ide transgender tampak menerima dan bahkan mendorong stereotip mengenai maskulinitas dan femininitas ini daripada melawannya. Dia menyatakan bahwa penampilan seorang transpuan yang sebegitu memaksakan femininitas yang terseksualisasi justru merupakan hal yang menekan (opresif) bagi perempuan-perempuan pekerja biasa yang ‘terlahir sebagai perempuan’ karena sesungguhnya yang diharapkan oleh semua perempuan adalah hilangnya stereotip-stereotip ini dari sejarah manusia ke depannya.
Sampai di sini, ini menjadi sebuah kritisisme yang menarik mengenai perjuangan pembebasan LGBT. Tetapi! Tambak bagiku, CPGB (ML) mengalami suatu macam ketakutan berlebihan pada pemikiran-pemikiran baru yang dicurigainya sebagai ideologi-ideologi borjuis yang akan memiliki tujuan melemahkan perjuangan rakyat pekerja di dunia. Sebenarnya partai ini mengambil posisi yang tepat, sebagaimana sosialis-sosialis pada umumnya, dengan melakukan perlawanan terhadap ‘politik identitas’. Hanya saja, aku akan menggunakan pada kesempatan ini saja (karena aku tidak sepakat dengannya) istilah ‘reduksionisme kelas’ untuk menjelaskan posisi CPGB (ML). Adalah benar melihat internasionalisme proletarian sebagai hal penting karena pada dasarnya semua rakyat pekerja di dunia dari berbagai negeri, dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras dll, termasuk juga seksualitas, sedang berhadapan dengan musuh yang sama, yaitu bourgeoisie. Yang menjadi masalah adalah pengabaian pada pengalaman spesifik dari orang-orang yang berbeda ini. Ada beberapa alasan mengenai ini yang aku rasa diketahui oleh kawan-kawan yang barangkali masih memiliki keraguan dalam mengambil posisi yang tepat.
Gender perlu dipisahkan dengan seks karena konstruk gender biner yang kita kenal merupakan sesuatu yang dapat dikatakan baru dalam perjalanan sejarah manusia, bukan hal yang ada sejak masyarakat (komunisme) primitif. Itu berarti ia tidak berkaitan langsung dengan sifat alami manusia atau dasar tubuh biologis. Penindasan terhadap kelompok LGBTQIA+, khususnya pada zaman kapitalisme, berkaitan erat dengan bentuk institusi keluarga yang menguntungkan bagi efisiensi reproduksi tenaga kerja (dan pasukan cadangannya) jika dipertahankan. Sherry Wolf (2009, Haymarket Books) dalam bukunya Sexuality and Socialism: History, Politics, and Theory of LGBT Liberation menulis penjelasan yang bagus mengenai ini.
“LGBT oppression, like women’s oppression, is tied to the centrality of the nuclear family as one of capitalism’s means to both inculcate gender norms and outsource care for the current and future generations of workers at little cost to the state…In addition, the oppression of LGBT people under capitalism, like racism and sexism, serves to divide working-class people from one another, especially in their battles for economic and social justice….women’s oppression derives from the structure of the family, in which the reproduction and maintenance (child care, housework, cooking, etc.) of the current and future generations of workers are foisted upon individual families rather than being the responsibility of society. Capitalism depends on privatised reproduction to raise the next generation of workers at little expense to itself. Likewise, the oppression of LGBT people stems from the implicit challenge that sexual minorities pose to the nuclear family and its gender norms.” (dikutip dari Communist Party of India (Marxist-Leninist) Liberation, “Marxism, The Bolshevik Revolution and LGBT Liberation”)
(Penindasan LGBT, sebagaimana penindasan perempuan, berkaitan dengan sentralitas dari keluarga inti sebagai salah satu cara kapitalisme untuk baik menanamkan norma-norma gender dan penemuan sumber dari luar untuk menghidupi generasi-generasi pekerja-pekerja saat ini dan masa depan dengan biaya rendah bagi negara… Sebagai tambahan, penindasan orang-orang LGBT di bawah kapitalisme, seperti rasisme dan seksisme, berguna untuk memecah rakyat kelas pekerja dari satu sama lain, khususnya dalam pertarungan mereka untuk keadilan sosial dan ekonomi… penindasan perempuan berasal dari struktur keluarga, yang mana reproduksi dan pemeliharaan (pengurusan anak, kerja rumah tangga, memasak, dll) dari generasi-generasi pekerja-pekerja saat ini dan masa depan dipaksakan kepada tiap-tiap keluarga daripada menjadi tanggung jawab dari masyarakat. Kapitalisme bergantung pada reproduksi yang diprivatisasi untuk membesarkan generasi pekerja-pekerja berikutnya dengan biaya rendah bagi [berjalannya proses produksi dalam] dirinya. Seperti halnya, penindasan orang-orang LGBT timbul dari tantangan implisit yang minoritas-minoritas seksual tujukan pada keluarga inti dan norma-norma gendernya.)
Tulisan oleh Partai Komunis India (Marxis-Leninis) Pembebasan yang menjadi sumber kutipan di atas menyebutkan bagaimana revolusi sosialis 1917 di tanah Rusia sangat peka terhadap beragam pengalaman ketertindasan dari kelas pekerja. Misalnya, mengenai masalah seksualitas, negara tidak akan campur tangan sama sekali selama tidak ada yang dirugikan. Ini memberi kita kejelasan seberapa pentingnya keberpihakan sosialis pada kelompok LGBT.
It declares the absolute noninterference of the state and society into sexual matters, so long as nobody is injured, and no one’s interests are encroached upon. [Penekanan sesuai sumber asli]
([Undang-Undang Soviet] menyatakan non-interferensi sepenuhnya dari negara dan masyarakat mengenai masalah-masalah seksual, selama tidak ada seseorang yang terluka, dan tidak ada kepentingan-kepentingan seorangpun yang diganggu.)
CPI (ML) Liberation juga mengkritisi pemerintahan Soviet pada masa Stalin yang mengkriminalisasi kembali homoseksual. Mengutip Sherry Wolf, kembalinya kebijakan yang patriarkal dan homofobik berkaitan erat dengan kepentingan Uni Republik-Republik Sosialis Soviet untuk memiliki ketersediaan tenaga kerja sebesar-besarnya yang berarti membutuhkan tingkat kelahiran yang tinggi. CPI (ML) Liberation menilai ini sepatutnya bisa dihindari, berpendapat cara lain dapat dipilih bahkan dengan mempertimbangkan keadaan URSS pada masa itu.
Aku pikir aku akan mengakhiri di sini. Sebagai penutup, aku ingin mengatakan bahwa kepekaan kita pada pengalaman-pengalaman dari pekerja-pekerja dengan latar belakang berbeda adalah penting. Selain sebagai wujud solidaritas antara pekerja-pekerja, ia juga penting untuk terwujudnya internasionalisme proletarian, persatuan semua pekerja di dunia, yang dengan itu perjuangan kita tidak terpecah belah.
Setelah beberapa waktu tidak bermain, aku kembali mencoba memainkan Touhou dan kebetulan versi yang aku mainkan adalah versi 14, atau nama lengkapnya TouhouKishinjou (Shining Needle Castle) ~ Double Dealing Character yang ceritanya memiliki latar pemberontakan kelompok youkai lemah (youkai = istilah yang merujuk ke berbagai macam makhluk supernatural yang biasanya ada di cerita rakyat masyarakat Jepang) . Pemberontakan ini merupakan sebuah balas dendam kelompok tertindas yang melibatkan perebutan kekuasan politik dari kelas penguasa untuk menggulingkan tatanan masyarakat. Di sini, namun, aku barangkali akan lebih banyak mengambil referensi dari Touhou Wiki, terutama untuk mengakses salinan percakapan tertulis yang ada di permainannya. Aku juga akan memasukkan beberapa hal yang aku temukan di versi 14.3-nya, Danmaku Amanojaku ~ Impossible Spell Card. Sebagai catatan, aku hanya akan mengambil cerita inti dan mengabaikan keragaman alur yang diakibatkan oleh pilihan karakter dalam permainan. Selain itu, aku mencoba menghadirkan beragam interpretasi yang mungkin dengan membawa kemari juga beberapa cerita karya penggemar untuk dijadikan pertimbangan. LOTS OF SPOILER ALERT
Sebuah ilustari karya penggemar yang menampilkan tiga tokoh yang terlibat pemberontakan: Raiko Horikawa (kiri), Shinmyoumaru Sukuna (kanan), dan Seija Kijin (belakang). [sumber]
Kisah latar belakang
Jauh di masa lalu, seorang dari spesies bertubuh kecil (inchling) bernama Issun-Boushi mengalahkan satu oni (semacam setan) dan mendapatkan hartanya, yaitu “Miracle Mallet” (Palu Ajaib). Alat ini dikatakan dapat mengabulkan semua permintaan. Issun-Boshi tahu bahwa ia harus menggunakan alat ini secara hati-hati karena alat ini merupakan kepunyaan oni. Oleh keturungan-keturunan setelahnya, alat ini digunakan untuk menciptakan sebuah istana dan berkuasa atas orang-orang. Ketika kekuatan alat ini habis, istana ini tenggelam ke dalam bumi, membawa bersamanya seluruh ras ‘orang kecil’. Menyadari kesalahan ini, orang-orang kecil yang tersisa menyegelnya sekali lagi. Dalam perjalanan waktu, kisah tentang Miracle Mallet akhirnya terlupakan.
Adalah Seija Kijin, satu amanojaku (sejenis youkai yang dapat memprovokasi orang dan mengajak pada keburukan, sejenis arwah dari kontradiksi dan kesesatan) yang berkeinginan menggunakan alat ini untuk menggulingkan tatanan yang ada di Gensokyo (nama dari dunia dalam permainan yang memiliki arti “tempat fantasi”). Ia menggunakan seorang putri dari ras orang kecil yang tidak tahu apapun mengenai Miracle Mallet, Shinmyoumaru Sukuna karena hanya orang-orang kecil yang mampu menggunakannya. Seija meyakinkan Shinmyoumaru dengan menceritakan sejarah palsu tentang bagaimana youkai di Gensokyo merendahkan orang-orang kecil pada masa lalu.
Amanojaku melawan dunia
“Nobody would benefit… you say? None of you understand how much we, the weak, have been oppressed.”
(Tidak ada yang diuntungkan… kau bilang? Tidak ada satupun dari kalian yang mengerti seberapa buruknya kami, yang lemah, telah ditindas.)
– Seija Kirin menanggapi Reimu yang menyatakan pergolakan sosial semacam ini tidak bermanfaat bagi siapapun dalam rute Reimu B
Masalah amanojaku sebenarnya terletak pada kemampuan kontradiktif dalam diri mereka. Dalam kasus Seija, segalanya adalah kebalikan, segalanya terjungkirbalikkan. Yang bagi orang-orang hal baik, itu adalah hal yang buruk bagi Seija. Seija menyukai hal-hal yang dibenci orang-orang. Dia sedih melihat seseorang bahagia. Ini membuatnya tidak disukai, tetapi tidak disukai tentu membuat dirinya bahagia. Ketika sekutu-sekutunya meninggalkannya dan berbalik memusuhinya, dia tidak mempermasalahkannya. Kondisi Seija yang seperti ini membuat dirinya sangat tidak masuk akal. Barangkali kenyataan baginya adalah skizofrenik. ‘Kegilaan’ ini digambarkan dengan baik oleh Uu Uu Zan dalam komik karya penggemarnya yang judulnya mengambil dari judul salah satu musik latar belakang dalam permainan, Reverse Ideology (tautan baca ke terjemahan bahasa Inggris di Dynasty Reader, tidak dapat diakses melalui IP lokal). Komik tersebut terbagi dalam dua cerita yang kontradiktif sepenuhnya. Ketika membacanya, kamu akan dihadapkan pada pertanyaan bagian cerita mana yang benar dan yang salah, mana yang kebenaran nyata dan mana yang merupakan hasil penjungkirbalikan dari itu.
Penghuni-penghuni Gensokyo, termasuk juga media massa mereka yang ikut menyebarkan pandangan yang ideologis, melihat Seija sebagai satu pemberontak yang akan menciptakan kekuasaan bagi dirinya sendiri atas semua orang. Bias yang nyata dari pandangan ini adalah bahwa mereka mengabaikan kondisi yang tidak biasa yang dialami Seija. Sebenarnya cukup sulit memahami posisi Seija karena kita tidak bisa memastikan kapan dia menjadi dirinya sendiri kapan dia ‘dibelokkan’ oleh kemampuannya sebagai amanojaku. Misalnya, ketika dia menyatakan dirinya sebagai golongan yang tertindas dan melakukan perlawanan, apakah itu pembelokan dari hasrat berkuasa atau ada dasar yang dapat membenarkannya? ‘Kegilaan’ yang dia alami tidak memungkinkan kita memahami kondisinya dengan (hanya) mendasarkan pada pikirannya, kata-katanya. Maka, kita perlu memandang masalahnya dengan pendekatan yang lebih materialis (meskipun ini adalah dunia fantasi supernatural). Tetapi, bagaimana caranya?
Kenyataan bahwa bukti-bukti yang kita miliki hanyalah salinan percakapan tertulis, tidak berarti segalanya hanyalah dunia ide karena segala percakapan ini terikat pada konteks. Coba amati percakapan antara Seija dan Sakuya dalam rute Sakuya B!
Seija: Do you want to become stronger? (Kau ingin menjadi lebih kuat?)
Sakuya: Well… I suppose so. (Yah.. aku rasa iya.)
Seija: Then become my ally. We are a force of resistance. We will re-draw the political borders of Gensokyo! (Kalau begitu jadilah sekutuku. Kami adalah sebuah kekuatan perlawanan. Kami akan menggambar ulang batas-batas politis Gensokyo!)
Sakuya: A resistance force!? Well, well… I think I just overheard something important. (Sebuah kekuatan perlawanan!? Wah, wah… Aku pikir aku baru saja secara kebetulan mendengar sesuatu yang penting.)
Seija: So? Will you join our cause? (Jadi? Akankah kau bergabung dengan pergerakan kami?)
Sakuya: Unfortunately, I am already attached to another political power. To me, a resistance force means a revolt against us. I never had the choice of becoming your ally from the start. (Sayang sekali, aku sudah terikat pada kekuatan politis lain. Bagiku, sebuah kekuatan perlawanan berarti sebuah pemberontakan melawan kami. Aku tidak pernah memiliki pilihan menjadi sekutumu sejak awal.)
Seija: I see… That is unfortunate. If none of you can imagine how much we, the weak, have been oppressed… Then… In this inverted castle where everything is turned upside-down, I’ll give you a taste of the humiliation the weak have suffered! (Begitu ya… Sayang sekali. Jika tidak ada dari kalian dapat membayangkan seberapa buruk kami, yang lemah, telah ditindas… Maka… Di istana yang terbalik ini di mana semuanya terjungkirbalikkan, aku akan memberimu rasa dari penghinaan yang kaum lemah rasakan.)
Percakapan ini terjadi pada posisi waktu yang sama dengan kutipanku atas Seija yang sebelumnya. Dari dua kutipan ini, aku ingin menunjukkan bahwa dua tokoh yang mendapat posisi protagonis ketika kita memainkan permainan ini, Reimu dan Sakuya (ada satu lagi bernama Marisa) telah memiliki kedudukan dalam peta politik di Gensokyo yang maka kehadiran pergerakan perlawanan adalah sebuah ancaman bagi ‘ketertiban’ yang ada (yang menguntungkan bagi mereka). Apalagi, pergerakan ini dimulai oleh satu amanojaku, kelompak youkai yang dipandang lemah, rendahan, dan hina di dalam hierarki sosial penghuni-penghuni Gensokyo (kecuali satu amanojaku bernama Sagume Kishin yang merangkap sebagai “dewi” di permainan versi lain). Betapa memalukan dan menghinakannya, jika pergerakan pemberontakan ini berhasil, bagi mereka yang selama ini memiliki kekuasaan, kelas-kelas penguasa itu. Ini juga menjelaskan kenapa dalam permainan versi 14.3-nya, ada mobilisasi besar-besaran untuk menghancurkan pergerakan perlawanan ini, hanya untuk mengalahkan satu amanojaku. Peraturan-peraturan yang membatasi diperbolehkan untuk dilanggar jika itu ditujukan untuk menangkap/mengalahkan Seija. Barangkali ini adalah momen di mana kelas-kelas penguasa demi mempertahankan posisi mereka berubah menjadi fasis.
Selain Seija dan Shinmyoumaru, tiga karakter lain yang terlibat pemberontakan secara tidak langsung atau lebih tepatnya memanfaatkan pergolakan sosial ini untuk kepentingan mereka mempertahankan kebebasan baru yang mereka dapat adalah Raiko Horikawa, Benben Tsukumo dan Yatsuhashi Tsukumo. Ketiganya adalah tsukumogami (sejenis youkai yang bangkit dari alat atau objek yang ditinggali satu dewa) yang mendapat kekuatan aneh dan perasaan mendendam dikarenakan penggunaan Miracle Mallet oleh Shinmyoumaru. Mendapat kekuatan baru ini, Benben dan Yatsuhashi mencoba melakukan penggulingan masyarakat seperti yang Seija lakukan demi pembebasan semua alat-alat, terutama mereka yang memiliki pengalaman tertindas. Di sisi lain Raiko lebih memilih untuk mencari cara agar kemerdekaan dan kekuatan barunya dapat dipertahankan sekaligus membangun kerja sama dengan tsukumogami-tsukumogami lainnya untuk menciptakan sebuah surga di mana alat-alat dapat hidup bebas/merdeka. Melihat penggunaan alat-alat yang sembarangan oleh Seija, mereka bertiga nantinya bergabung dengan dunia melawan Seija.
Sebuah ilustrasi karya penggemar pasangan Shinmyoumaru x Seija [sumber, tidak dapat diakses dengan IP lokal]
Shinmyoumaru yang bersimpati dan Seija yang (barangkali) mulai korup
Shinmyoumaru yang sempat ditangkap (merujuk ke akhir cerita permainan versi 14) meskipun telah menyadari kenyataan yang ada, masih memiliki simpati pada Seija. Shinmyoumaru mencoba meyakinkan Seija untuk berhenti dan menyerahkan Miracle Mallet kepada dirinya karena posisi Seija yang semakin terpojok dan ketidakmauan Shinmyoumaru memusuhi youkai di Gensokyo. Tetapi, Seija bersikeras untuk melawan dunia sebagai amanojaku. Hal ini dapat diketahui dari percakapan di antara mereka di dalam permainan versi 14.3 pada hari ke-8 adegan 1 sebagai berikut
Shinmyoumaru: Hey, Seija. Isn’t it about time for you to give them back? The mallet’s remaining power, that is. (Hei, Seija. Bukankah ini sudah waktunya kamu mengembalikannya? Kekuatan yang tersisa dari Mallet itu, kau tahu.)
Seija: Eh? What are you talking about? It’s only just begun—the true social upheaval. (Eh? Apa yang kau bicarakan? Ini baru saja dimulai — pergolakan sosial yang sesungguhnya.)
Shinmyoumaru: Uhhh… Unfortunately… Upheaval is impossible at this point. We’ve already lost this fight. (Uhhh… Pergolakan tidaklah mungkin lagi pada titik ini. Kita telah kalah dalam pertarungan ini.)
Seija: Even if you complain… There’s nothing to worry about. As long as we have at least this much cheating power, we can put the youkai throughout Gensokyo under our control at any time. (Sekalipun kamu mengeluh… Tidak ada apapun untuk dikhawatirkan. Selama kita memiliki kekuatan mencurangi [dari alat-alat ini] setidaknya sebesar ini, kita dapat meletakkan youkai di seluruh Gensokyo di bawah kendali kita kapanpun.)
Shinmyoumaru: It’s all right, it’s all right, now. Let’s just surrender. I’m not going to antagonize the youkai of Gensokyo. (Tidak apa-apa, tidak apa-apa, sekarang. Kita menyerah saja. Aku tidak akan memusuhi youkai di Gensokyo.)
Seija: I appreciate the offer, but… Nope! I ain’t surrendering to nobody. (Aku menghargai tawaranmu, tetapi… Tidak! Aku tidak akan menyerah pada siapapun.)
Shinmyoumaru: Well, I figured you’d say that. In that case, I’ll make you return that power to me. By the way, in case you were going to resist~ I told e-very-one to seriously try and capture you. Like the saying, “a live dog is better than a dead lion,” right? (Baiklah, aku menyadari kamu akan berkata demikian. Oleh karena itu, aku akan membuatmu mengembalikan kekuatan itu padaku. Ngomong-ngomong, seandainya kamu mencoba melawan~ Aku sudah bilang pada se-mu-a o-rang untuk sunguh-sungguh mencoba dan menangkapmu. Seperti pepatah, “anjing yang hidup lebih baik daripada singa yang mati,” benar?)
Seija: No matter who’s after my life, I have no reason to return this wonderful power. For I am Seija. An amanojaku since birth! (Tidak peduli siapa yang mengincar nyawaku, aku tidak memiliki alasan untuk mengembalikan kekuatan menakjubkan ini. Karena aku adalah Seija. Seorang amanojaku sejak lahir!)
Di titik ini, aku merasa (curiga) Seija mulai menjadi semakin tidak stabil (meskipun dari awal dia sudah sangat tidak stabil atau katakanlah ‘gila’). Sebagai amanojaku, menjadi musuh dunia tentu saja adalah sesuatu yang menyenangkan. Dalam hal ini, akhir cerita dari permainan ver 14.3 tidak memberi tahu kita apapun tentang apa terjadi pada Seija. Jadi, bagaimana nasib Seija pada akhirnya tidak diketahui.
Mengenai Seija sebagai amanojaku, ada sebuah komik karya penggemar (18+) oleh Hisame* berjudul Little Happiness (terjemahan bahasa Inggris di The Yuri Reader!) yang menghadirkan pandangan berbeda mengenai kondisi emosionalnya, lebih positif daripada yang aku gambarkan di atas. Menurutnya, kemampuan konradiktif amanojaku sebenarnya merupakan sifat kecenderungan (yang kuat) sehingga Seija meskipun tidak bisa menghilangkan kecenderungannya berpikir berkebalikan, ia masih memiliki kontrol atas emosinya sampai tingkat tertentu.
Pandangan yang berada di tengah antara kegilaan dan ketidakstabilan (dan kelicikan) ditunjukkan oleh Schichil dalam komik komedi karya penggemarnya berjudul Vector Spectacle (terjemahan bahasa Inggris di Dynasty Reader, tidak dapat diakses denga IP lokal) di mana Seija adalah buronan yang tidak memiliki apa-apa lagi dan hanya kabur dari satu tempat ke tempat lain dst. Seija sekalipun memiliki kesadaran, hampir tidak pernah dapat berpikiran positif dan akan melakukan apapun untuk tujuannya mengubah posisinya dalam hierarki sosial, misalnya dalam kasus Shinmyoumaru, ia mencoba membohongi, merayu, memanfaatkan perasaan cinta Shinmyoumaru lagi untuk mendapatkan kekuatan Miracle Mallet.
Yang menarik dari karya Schichil adalah bagaimana Shinmyoumaru atas keputusan sendiri berpihak lagi pada Seija dan dengan berbagai usaha yang menemui kesulitan mencoba mengubah Seija menjadi orang yang baik. Tentu ada konflik yang hebat terjadi di kepala Seija. Sebagai amanojaku, segala hal baik yang ditunjukkan dan diajarkan oleh Shinmyoumaru sesuatu yang tidak masuk akal atau aneh. Apalagi, ada dorongan dalam diri Seija yang tidak bisa berhenti memikirkan Shinmyoumaru, seorang kawan lama dalam perjuangan yang bertemu kembali dan seorang yang mau mempercayainya sepenuhnya. Seija dapat berubah, tetapi sebuah konsekuensi yang nyata. Kini, Seija tidak lagi dapat melihat Shinmyoumaru sebagai alat, tetapi sebagai orang yang berharga. Dalam posisi yang sungguh-sungguh terpojok sebagai buron, ia lebih memilih membiarkan Shinmyoumaru diambil pergi oleh musuh-musuhnya, namun, bisa hidup daripada bertarung bersama dengan risiko dia kehilangan Shinmyoumaru.
Penutup: revolusi yang gagal
Satu amanojaku melakukan pemberontakan yang hampir menggulingkan tatanan dunia. Tidak ada lagi harapan untuk revolusinya berhasil. Tetapi, itu ada artinya, bukan?
Sungguh, aku triggered sejak melihat judulnya saja. Ambil judul Runtuhnya Tembok Jerman dan Runtuhnya Stalinisme, tetapi sama sekali tidak memberikan argumentasi jelas, malah menyebarkan propaganda anti-komunis. Hal-hal mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Jerman, atau khususnya Republik Demokratik Jerman, hanya dibahas sedikit sekali. Kuliah ini hanya sekadar propaganda anti-Stalin belaka yang tidak menarik. Berikut adalah beberapa kenyataan yang ada.
Pertama, tuduhan totaliter pada Stalin (Stalinisme), telah dibuktikan oleh penelitian-penelitian terakhir, adalah kebohongan yang diproduksi barat kapitalis, kaum revisionis (seperti Khrushchev dalam Pidato Rahasia nya), oposisi kanan (yang mana Trotsky menjadi bagian), dan pemerintah fasis (yang mana Trotsky berkolaborasi dengan mereka). Akses ke sumber-sumber penting yang menyatakan hal ini dapat ditemukan di bagian akhir tulisan ini. Aku tidak menyatakan bahwa Stalin adalah suci, bebas dari segala kesalahan. Aku mengakui beberapa kesalahan dari Stalin dan pemerintah Soviet pada masa itu, tetapi kesalahan-kesalahan tersebut haruslah diakui tidak termasuk kejahatan sebagaimana dituduhkan.
“The common or “mainstream” view of Stalin as a bloodthirsty tyrant is a product of two sources: Trotsky’s writings of the 1930s and Nikita Khrushchev’s “Secret Speech” to the XX Party Congress in February, 1956. This canonical history of the Stalin period – the version we have all learned — is completely false. We can see this now thanks mainly to two sets of archival discoveries: the gradual publication of thousands of archival documents from formerly secret Soviet archives since the end of the USSR in 1991; and the opening of the Leon Trotsky Archive at Harvard in 1980 and, secondarily, of the Trotsky Archive at the Hoover Institution (from where I have just returned).” – Grover Furr, “The Ukrainian Famine: Only Evidence Can Disclose the Truth”
Kedua, pemecahan Jerman menjadi Timur dan Barat bukanlah kehendak Stalin, melainkan kapitalis-kapitalis barat yang ingin menguasai industri-industri besar yang ada di bagian barat negeri itu. Stalin hanya meminta Jerman dimerdekakan sebagai negara netral dengan tanggung jawab membayar kerugian perang pada Uni Republik-Republik Sosialis Soviet.
The creation of the GDR was a reaction to the creation of the Federal Republic of Germany in 1949, after the Western-controlled sectors of Berlin introduced a separate currency so as to undermine the economic stability of the Eastern side. Contrary to what is taught in the capitalist education system, the Soviet Union and its allies never wanted a partitioned Germany, instead favouring a unified but neutral state. But in 1952 the Soviet proposals for German reunification were rejected by the West, under its chancellor, Konrad Adenauer. West Germany was later armed and financed by the United States. – Graham Harrington, “The Berlin Wall, thirty years later”
Ketiga, Tembok Berlin berdiri pada masa Khrushchev. Tembok itu didirikan pada tahun 1961 sebagai opsi terakhir atas dasar kepentingan melindungi rakyat Jerman Timur dari kehilangan orang-orang terpelajar yang dibutuhkan untuk pembangunan masyarakat yang sejahtera. Kesempatan bisnis dan godaan upah yang lebih tinggi mengakibatkan migrasi yang menurunkan populasi sebesar 10 persen. Alasan lain juga adalah ancaman spionase dan sabotase oleh CIA dan BND (intelijen Jerman Barat). Tentu jika memungkinkan, berbagai penghalang, pemisah antara Barat dan Timur ini tidak pernah ada. Paradigma anti-komunis mencoba mengatakan bahwa tembok ini adalah penjara, tetapi latar belakang dari didirikannya tembok ini adalah sebagai pelindung.
“By 1961, the East German government decided that defensive measures needed to be taken, otherwise its population would be depleted of people with important skills vital to building a prosperous society. East German citizens would be barred from entering West Germany without special permission, while West Germans would be prevented from freely entering the GDR. The latter restriction was needed to break up black market currency trading, and to inhibit espionage and sabotage carried out by West German agents. [27] Walls, fences, minefields and other barriers were deployed along the length of the East’s border with the West. Many of the obstacles had existed for years, but until 1961, Berlin – partitioned between the West and East – remained free of physical barriers. The Berlin Wall – the GDR leadership’s solution to the problems of population depletion and Western sabotage and espionage — went up on August 13, 1961. [28]” – Stephen Gowans, “Democracy, East Germany and the Berlin Wall”
Keempat, mengenai keterkaitan kejadian ini dengan stalinisme, aku juga merasa itu adalah tuduhan absurd. Sebenarnya apa itu stalinisme? Apakah barangkali kata Stalinisme merujuk pada rezim sosialis di berbagai negeri dengan partai berideologi marxis-leninis, yang tidak menerapkan teori-teori Trotsky? Tentu saja, seorang Bolshevik, seorang komunis tidak akan mengikuti Trotskyisme. Teori Trotsky adalah kombinasi antara Bolshevisme dan Menshevisme. Ia mengambil dari Bolshevik perjuangan revolusioner proletarian dan pengambilan kekuasaan oleh kaum buruh, tetapi dari Menshevik, ia mengambil posisi “menolak” peran kaum tani dalam revolusi, atau dengan kata lain menolak “kediktatoran proletarian dan tani demokratik” yang merupakan gagasan Lenin, seorang Bolshevik.
“A whole decade—the great decade of 1905-15—has shown the existence of two and only two class lines in the Russian revolution. The differentiation of the peasantry has enhanced the class struggle within them; it has aroused very many hitherto politically dormant elements. It has drawn the rural proletariat closer to the urban proletariat (the Bolsheviks have insisted ever since 1906 that the former should be separately organised, and they included this demand in the resolution of the Menshevik congress in Stockholm). However, the antagonism between the peasantry, on the one hand, and the Markovs, Romanovs and Khvostovs, on the other, has become stronger and more acute. This is such an obvious truth that not even the thousands of phrases in scores of Trotsky’s Paris articles will “refute” it. Trotsky is in fact helping the liberal-labour politicians in Russia, who by “repudiation” of the role of the peasantry understand a refusal to raise up the peasants for the revolution!” – V.I. Lenin, “On the Two Lines in the Revolution” (1915)
Kelima, tuduhan “sosialisme di satu negeri” mengabaikan internasionalisme sangatlah tidak Marxis dan Leninis. Revolusi sosialis memanglah akan mendunia, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk revolusi terjadi di satu negeri terbelakang (mata rantai terlemah dari imperialisme).
“Revolusi di satu negeri tidak harus merupakan permulaan dari Revolusi Dunia, tapi revolusi dunia akan terus berjalan karena dimulai dengan kemenangan baru di negeri-negeri di mana kapitalisme lemah untuk satu periode waktu sejarah yang panjang. Kematangan tak merata dari kondisi untuk meletusnya revolusi meniadakan terjadinya revolusi secara bersamaan di tiap negeri” – Tatiana Lukman, 2016, “Trotskyisme? Sosialisme di Satu Negeri atau Revolusi Permanen?” hlm. 143
Terakhir, aku hanya ingin mengatakan bahwa pembelaanku terhadap Stalin didasarkan ketersediaanku melakukan kritik diri mengenai posisiku. Aku dulu sempat menjadi pengikut Trotsky untuk waktu yang sebentar sebelum aku mempelajari Marxisme-Leninisme. Aku juga kenal beberapa kawan sosialis yang pemikirannya banyak mengambil dari Trotsky. Aku diam saja karena tidak ingin menyulut konflik. Awalnya aku mengambil judul “Kebodohan Trotskyite” karena rasa kesal, namun kemudian aku ralat. Tetapi, sungguh, aku pikir para pengikut Trotsky harus mau menerima berbagai ‘kebenaran-kebenaran’ mengenai Stalin dan Trotsky yang awalnya untukku sendiri tidak menyenangkan.
Beberapa sumber penting:
Penelitian oleh Grover Furr yang dituangkan dalam buku-bukunya, Khrushchev lied : the evidence that every “revelation” of Stalin’s (and Beria’s) “crimes” in Nikita Khrushchev’s infamous “secret speech” to the 20th party congress of the Communist Party of the Soviet Union on February 25, 1956, is provably false(tautan baca ke Internet Archiev),
Presentasi Grover Furr di 7th World Socialism Forum, World Socialism Research Center berjudul Trotsky’s Lies – What They Are, and What They Mean (tautan baca ke Grover Furr’s Home Page)
Tulisan oleh Grover Furr dan Vladimir Bobrov berjudul Bukharin’s “Last Plea”: Yet Another Anti-Stalin Falsification (tautan baca ke Grover Furr’s Home Page) dan
Tulisan oleh Grover Furr dalam jurnal Cultural Logic: A Journal of Marxist Theory & Practice berjudul Evidence of Leon Trotsky’s Collaboration with Germany and Japan (tautan baca) dan
Nikolai Bukharin’s First Statement of Confession in the Lubianka (tautan baca)
Tulisan oleh Grover Furr dalam jurnal Socialism and Democracy berjudul The “Official” Version of the Katyn Massacre Disproven?: Discoveries at a German Mass Murder Site in Ukraine (tautan baca)
Tulisan oleh Grover Furr berjudul New Light On Old Stories About Marshal Tukhachevskii : Some Documents Reconsidered (tautan baca Grover Furr’s Home Page)
Tulisan oleh Mark Tauger berjudul Stalin, Soviet Agriculture and Collectivization dalam buku Food and Conflict in Europe in the Age of the Two World Wars, yang disunting oleh Frank Trentmann dan Flemming Just (tautan baca ke New Cold War: News and Analysis of the Multipolar World)
Tulisan oleh Mark Tauger berjudul Natural Disaster and Human Actions in the Soviet Famine of 1931–1933 dalam jurnal The Carl Beck Papers in Russian and East European Studies (tautan baca)
Tulisan oleh Harry Haywood berjudul Trotsky’s Day in Court dalam bukunya, Black Bolshevik: Autobiography of an Afro-American Communist (tautan baca ke Marxists Internet Archieve)