Mengapa aku ke kiri?

Mengapa aku pindah haluan ke Sosialisme (Demokratis)?

Pada masa SMA dulu, aku penggilanya liberalisme-kapitalis. “Kesengsaraanmu (kemlaratan) adalah kesalahanmu,” pikir saya dulu.

Aku beruntung ketika kuliah dapat “pencerahan”, kenal ilmu sosial-politik dan filsafat. “Wah, gila ini! Harus diubah ini!” Sebenarnya dari dulu, bahkan sejak kelas 5 SD, aku sudah merasa ada yang ganjil atau tidak benar dengan masyarakat ini tetapi tidak tahu apa sebenarnya yang salah itu. “Kenapa orang-orang seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya diriku dulu. Karena aku tipe orang yang suka memberontak (radikal), negara yang condong ke “kanan”, kapitalisme, ini perlu putar setir ke “kiri”, sosialisme.

Ketika aku belajar sosialisme, aku lihat sosialisme (negara) yang ada di USSR (Uni Soviet) tidaklah tepat. Membunuh kebebasan individu adalah salah. Itu tidak sesuai dengan filsafat negara Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila menghargai tiap individu sebagai bagian dari masyarakat: masyarakat dibentuk oleh individu dan individu hanya akan berharga ketika menjadi bagian dari masyarakat (kata buku LKS PKn SMA).

Kebetulan melihat dinamika politik di AS (Amerika Serikat) yang ada “Democratic Socialism”, aku merasa “wow” dengan yang satu ini, sosialisme yang menghargai kebebasan individu (dengan imbuhan kata “demokratis”). Kecewaku adalah cita-cita mulia sosialis untuk keadilan sosial terlanjur dapat “citra buruk” dari kegagalan sosialis terdahulu dan orang partai komunis yang “kehilangan arah”.

Kapitalisme yang sangat jelas “ketidaksempurnaannya” menjadi seolah-olah seperti hukum alam yang tak dapat ditolak. Berbeda dengan sosialisme-komunisme yang adalah “ciptaan manusia”, kapitalisme itu muncul secara alami sebagai produk modernisasi-industrialisasi. Namun, yang sekadar ciptaan manusia itulah yang telah membuka mata orang, yang telah berkontribusi menggeser pikiran orang untuk tidak memeluk “kapitalisme murni”.

Sosialisme adalah “counter hegemony”-nya kapitalisme. Jika orang tidak diberitahu alternatif bahwa ada jalan “kiri” selain jalan “kanan”, orang akan beranggapan jalan yang ada hanya satu itu saja. Namun, sosialis tidaklah merasa yang paling benar, sosialis tidak antikritik. Aku masih terbuka untuk alternatif lain karena mungkin saja tidak hanya ada kanan dan kiri (mungkin masih ada depan dan belakang atau atas bawah atau yang ada di dimensi ke-empat, entahlah).

Pancasila menjamin keadilan sosial tetapi kapitalisme (hampir) tidak. Alasan itu menjadi motivasi (etis) saya menentang “keserakahan kapitalis”, selain itu, juga ada dampak lingkungan dari eksploitasi sumber daya alam. Aku menyambut baik hadirnya neokapitalisme, yaitu versi yang lebih berkeadilan dan mempersatukan (hutang sosial nol) dari kapitalisme. Meskipun aku bukan orang pintar dan orang bejo, aku juga (berusaha) berinovasi.

Mengangkat kembali guyonan lamaku: “Aku belum mau mati. Negaraku masih seperti ini.”

Tanggal dan bulan lahirku sama seperti Karl Marx 😀