
Aku adalah orang yang berangkat dari Postmodernisme sebelum mendalami Marxisme. Dalam hal ini, posisiku selalu mencoba untuk mempertahankan postmodernisme, berusaha menyelaraskannya dengan Marxisme seperti yang aku lakukan di subversi kiri. Tetapi aku dihadapkan dengan narasi-narasi marxis yang cenderung menentangnya (termasuk debat Zizek vs Peterson). Salah satunya misalnya dari podcast berjudul “Legacies of Postmodernism” oleh saluran langganan Aufhebunga Bunga di mana pembicara-pembicara menunjukkan beberapa hal berikut:
Postmodernisme menjauhkan kelas pekerja dari perjuangan kelas
Aku pribadi merasa postmodernisme tidak pernah menempatkan diri sebagai penggerak perubahan. Ia bisa mengobrak-abrik dan membongkar segala wacana dan kekuasaan di baliknya, tetapi tidak pernah mengungkapkan bahwa hal-hal tersebut dapat dan perlu diubah (secara radikal). Ia justru menjerumuskan orang-orang pada kesenangan akan ilusi-ilusi yang diciptakan dalam kapitalisme lanjut (late capitalism).
Postmodernisme digunakan oleh kaum kanan untuk membuat narasi anti-kiri
Postmodernisme memang dalam dirinya sendiri dipengaruhi oleh marxisme tetapi juga menyerang marxisme dengan mengalihkan perhatian ke masalah budaya daripada ekonomi. Kecenderungan untuk menghindari fokus pada masalah ekonomi menjadikannya dapat digunakan oleh kaum kanan untuk menyerang marxisme.
Postmodernisme mengaburkan kebenaran
Kebenaran tidak lagi dijunjung tinggi dalam postmodernisme. Postmodern merayakan kematian kebenaran (tunggal-transedental). Aku agak positif dalam hal bahwa ia mengingatkan akan kesukaan orang untuk truth claim. Namun, ia menjadi problematis ketika ia menggiring pikiran orang untuk percaya bahwa realitas yang kacau (chaotic) adalah alamiah dan bukan konstruksi (atau konsekuensi).
Postmodernisme melestarikan kapitalisme
Aku memberi sedikit pertimbangan mengenai imposibilisme. Tanpa perubahan struktural yang berarti, kapitalisme tidak akan pernah bisa diruntuhkan. Postmodernisme erat kaitannya dengan pesimisme terhadap narasi besar (grand narrative). Maka, ia tidak akan punya daya cukup kuat untuk perubahan struktural dan jatuh pada reformis (demokrat sosial) atau lebih buruk lagi menerima kapitalisme (liberal).
Sebenarnya masih ada hal-hal lain mengenai postmodernisme yang tidak sejalan dengan marxisme tetapi aku pikir beberapa yang aku sebut di atas cukup untuk pengantar. Juga, sebenarnya aku ingin menulis tentang Brexit tetapi (sangat) kekurangan bahan karena tidak begitu mengikuti. Mengenai postmodernisme, ia masih menarik bagiku sebagai bagian dari kajian budaya populer. Sebagai penutup, aku bertanya:
“Tidakkah masalah untuk menjadi marxis sekaligus wibu?”
Bonus:
