Mencurigai sesuatu di balik paedophilia

Ketertarikanku pada masalah ini berawal dari menemukan orang membagikan album gambar komik “Loli and FBI” di Facebook (tidak lagi dapat diakses). Gambar-gambar itu menunjukkan bagaimana seorang petugas FBI yang pada akhirnya tidak dapat menahan diri ketika anak perempuan yang ikut bersamanya terus-menerus menggoda petugas tersebut secara seksual. Petugas itu tidak jadi melakukan hubungan seksual dengan anak tersebut karena petugas lain yang melihatnya bertindak segera. Petugas pertama lari dan petugas kedua mengejarnya. Sedangkan, anak perempuan itu menertawai mereka di bangku mobil. Aku bagikan album itu dengan komentar:

1. Kalau digoda dan itu membuatmu tidak nyaman, bilang penggoda untuk berhenti dan tidak melakukannya. Tolak dengan baik-baik.
2. Seks hanya boleh dilakukan dengan persetujuan dari dua atau lebih pihak yang akan melaksanakannya, termasuk bagaimana melakukan.

Tentu, ini kontroversial. Apakah adanya persetujuan (consent) antara seorang anak dan seorang yang dewasa dapat menjadikan hubungan seksual di antara mereka dibenarkan? Pribadi, aku perlu menyondongkan jawabanku pada pilihan “Tidak” daripada “Ya” berdasarkan pertimbangan kondisi sosial-politik saat ini. Tetapi, aku perlu juga untuk mengutarakan sesuatu yang umumnya tersembunyi dari wacana paedophilia. Ini terinspirasi oleh pernyataan Slavoj Žižek (yang aku tidak paham konteksnya apa):

You see, the Lacanian solution to this problem would be to find the bigger ideological picture. What is the meaning of this comfort and happiness, is that truly what freedom consist of?

Ketimpangang kuasa

Menganalisa hubungan kuasa atau subjek-objek dalam sebuah hubungan dapat membantu kita dalam memahami apakah hubungan antara subjek-subjek setara atau tidak. Lalu, apakah hubungan kuasa antara seorang anak dan seorang dewasa yang bernafsu pada tubuh anak-anak setara? Itu sangat mungkin tidak setara. Tentu, saya tidak menggolongkan semuanya karena ada, misalnya, kasus unik di mana seorang yang mengakui mengunduh gambar-gambar pelecehan anak melaporkan dirinya sendiri ke polisi [2]. Pelaporan dirinya sendiri menunjukkan usaha dia untuk tidak mengobjektivikasi tubuh anak-anak (lebih lanjut). Masalah objektivikasi tubuh akan dibahas nanti pada masalah seksualisasi tubuh.

Pendidikan seks adalah penting untuk mengajarkan anak-anak tentang tubuhnya, hubungan sosial, perilaku tidak pantas, dan pelecehan. Hal ini dikemukakan oleh UNESCO [3]. Ketidaktahuan anak akan hal tersebut dapat menyebabkan mereka rentan untuk dijerumuskan oleh kaum predator anak ke penindasan tubuh (pelecehan). Inti dari ketimpangan kuasa adalah bahwa anak-anak tidak dilihat sebagai subjek yang memiliki kehendak sendiri. Fenomena yang lebih mengejutkan adalah ketika seorang pedofil mencoba menormalkan penindasan tubuh itu dengan menyatakan bahwa anak-anak menyukainya dan menyalahkan budaya yang melarangnya [4].

Seksualisasi tubuh anak-anak

Paedophilia menurut ilmu psikologi adalah kondisi di mana seorang individu cenderung atau hanya menyukai anak-anak pra-remaja (13 tahunan atau kurang). Hal yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua yang melakukan pelecehan terhadap anak adalah pedofil [5]. Maka, label “pedofil” pada pelaku pelecehan terhadap anak adalah salah. Konsekuensi buruk dari pelabelan sembarangan ini adalah tersembunyi kenyataan bahwa ada sesuatu yang lain (daripada paedophilia) yang menyebabkan pelecehan tersebut marak terjadi.

“If I could talk to those companies, I would tell them that makeup, hair, clothes, do not make you look beautiful, it doesn’t make you perfect and it doesn’t give you the most confidence in the world.” (Faith, dikutip langsung dari video percakapan di atas)

Seksualisasi adalah reduksi manusia sebagai objek seksual dengan hanya memandang karakteristik-karakteristik fisik tertentu yang dianggap seksual [7]. Estetika tubuh rentan untuk dieksploitasi oleh orang-orang dewasa, sebagaimana tercermin di media. Eksploitasi ini terutama terjadi di dalam periklanan di mana iklan mengarahkan orang-orang untuk memiliki hasrat (seksual) tinggi pada estetika tubuh yang menyelubungi komoditi sehingga ingin memiliki dan mengkonsumsinya. Ini menjadi lebih buruk ketika pornografi anak dimasukkan ke dalam daftar. Di dalam pornografi anak, tubuh anak secara vulgar ditundukkan sebagai obyek pemuas dahaga seks.

Apakah pendidikan seks merupakan bagian dari seksualisasi tubuh? Seks dalam pendidikan seks tidak dicitrakan sebagaimana dalam pornografi. Ia mengajak anak untuk memahami tubuh dan potensi dari tubuh itu sebagaimana adanya. Yang diperlukan bukanlah menyembunyikan seks, tetapi memahami rasa ingin tahu anak dan meresponnya dengan bijak [8]. Sebagai kritik diri, aku, sebagaimana yang tertulis di paragraf pertama, barangkali telah ikut berkontribusi pada seksualisasi tubuh anak. Aku akan berusaha untuk tidak melakukan itu lagi.

Patriarki

Kenyataan bahwa sebagian besar korban pelecehan seksual adalah perempuan (termasuk transgender) menandakan kondisi budaya yang patriarkal di mana posisi laki-laki adalah dominan sedangkan perempuan berada di posisi submisif [9]. Dalam budaya patriarki, kehadiran (eksistensi) perempuan adalah hanya sebagai pendamping, pelengkap, atau pendukung laki-laki. Maka, akan langsung ditolak oleh kaum reaksioner, ide-ide yang mendukung pembebasan perempuan untuk menuntut kesetaraan pada laki-lakinya, hidup mandiri, tertarik pada dan/atau memilih perempuan lain daripada laki-laki (biseksual, lesbian) atau berubah menjadi laki-laki (Female-to-Male).

Perlawanan terhadap patriarki tidaklah mudah. Sebegitu mengakarnya, laki-laki (yang berusaha menjadi) feminis, bahkan, masih bisa terperangkap dalam bingkai patriarki. Hal ini tercermin oleh seorang politisi Demokrat Amerika Serikat yang pro-choice, Joe Biden. Dari gambar di atas, kita dapat mengetahui bahasa tubuhnya yang mencerminkan dominasinya. Ia sama sekali tidak menunjukkan keterbukaan dan penerimaan. Justru, itu tampak seperti ia sedang menekan dan mengancam perempuan di hadapannya. Itu dapat menimbulkan kecurigaan apakah Biden, barangkali, hanyalah seorang politisi oportunis yang sedang mencari suara dari kalangan yang mendukung aborsi [10]

Kapitalisme

Dengan mengaplikasikan perspektif Marxis pada kriminologi, kita dapat mengetahui bagaimana kapitalisme itu sendiri memiliki sifat krimonogenik (menyebabkan kejahatan). Beberapa hal berikut menunjukkan bagaimana kapitalisme berdampak pada hubungan sosial di masyarakat [11].

  1. Budaya kompetisi yang toksik untuk kepentingan pribadi/laba/uang. Kepentingan komunitas dan perlindungan alam berada di prioritas bawah;
  2. Konsumerisme. Orang-orang dipaksa untuk mengkonsumsi sebanyak mungkin dan mengikuti gaya hidup yang sebenarnya tidak dapat diraih oleh sebagian besar orang; dan
  3. Ketidaksetaraan ekonomi. Kekayaan sebagian kecil orang, pada kenyataannya, didapat dari pemiskinan sebagian besar orang.

Lalu, bagaimana hubungannya dengan pelecehan terhadap anak? Pertama, kompetisi erat kaitannya dengan dominasi. Hubungan sosial saat ini tidak didasari atas kesetaraan individual dan saling bantu (mutual aid). Dalam hubungan semacam itu, yang kuat akan menindas yang lemah. Anak-anak yang umumnya lebih lemah rentan menjadi target penindasan. Kedua, apa yang kita konsumsi selalu ideologis. Žižek mengingatkan kita tentang kenyataan sehari-hari yang ideologis dan keluar darinya hampir tidak mungkin. Konten yang menjadikan tubuh seksual (seksualiasi) melalui media sebegitu mudah diakses dan bisa jadi telah ternormalkan sehingga tidak disadari. Ketiga, aku tidak begitu tahu. Tentu, keadaan ekonomi punya pengaruh pada tindak kejahatan [12]. Ada juga apa yang disebut kekerasan finansial di mana korban dipaksa bergantung secara ekonomi pada pelaku sehingga dapat dikontrol [13]. Tetapi jika ingin mengambil jarak lebih lanjut, penawaran dan permintaan atas eksploitasi seksual, khususnya anak, membutuhkan reduksi manusia sebagai properti. Maka, barangkali, penghancuran properti diperlukan untuk membebaskan subjek manusia dari ketertindasan.

Apa yang dapat dilakukan?

Jawabannya adalah membalikkan apa yang dikemukakan di atas: wujudkan kesadaran kesetaraan, hentikan seksualisai tubuh, bentuk budaya feminis, dan wujudkan tatanan sosialis.

Sumber gambar unggulan pos ini: http://edupost.id/parenting/kesalahan-pola-asuh-anak-picu-kekerasan-seksual/