“Nilai” Borjuis yang Mengerikan

Sudah banyak waktu terlewati sejak terakhir saya mempos tulisan terakhir di blog ini. Kali ini adalah tulisan tentang pengalaman pribadi.

Saya (diharuskan) mengikuti pembelajaran dan ujian sertifikasi. Dari beberapa opsi yang tersedia, aku memilih tentang branding. Barangkali terdengar postmodernis, aku cukup menikmati melihat dan berpartisipasi dalam omong kosong yang disebut brand ini. Tentu saja, apa yang akan saya temukan dari ‘benda’ semacam ini sebagian besar hanyalah sekumpulan kengerian. Sekalipun begitu, saya tidak begitu mengerti kenapa saya tidak bisa menghentikan diri untuk menyelami lautan kengerian ini. Apakah ini semacam masokisme?

Salah satu hal mengerikan yang saya temukan adalah konsepsi tentang “nilai”. Sementara nilai itu sendiri dapat merujuk ke hal-hal berbeda, seperti nilai dalam pertimbangan etis berbeda dengan nilai dalam artian sekumpulan informasi berbentuk data, nilai yang dibahas di sini adalah nilai yang berkaitan dengan apa yang dipelajari. Untuk memahami branding, setidaknya dibutuhkan pengetahuan mengenai marketing.

Berdasarkan modul pembelajaran yang saya terima, marketing dalah tentang menciptakan nilai dan tidak sekadar membuat barang dan jasa. Hasil dari pemasaran adalah nilai. Nilai adalah “total get dibagi total give,” “apa yang didapatkan dibandingkan dengan apa yang harus dikorbankan.” Total get adalah hal yang didapat pelanggan berupa manfaat-manfaat fungsional, emosional, dan sosial. Total give adalah biaya yang dikeluarkan dalam bentuk harga dan/atau biaya lain. Dan tugas seorang pemasar adalah menunjukkan bahwa nilai dari produk kita harus lebih besar daripada kompetitor.

Ide tentang nilai ini sebenarnya cukup individualis dan jika dikaitkan dengan tatanan masyarakat yang hari ini kita tinggali ia cukup borjuis. Konsepsi di atas setidaknya mengandung asumsi bahwa setiap manusia mengharapkan dan berusaha mencari keuntungan, total get harus lebih tinggi daripada total give. Pandangan umum tentunya tidak menemukan kesalahan dalam ide ini karena menang tidak ada yang perlu disalahkan. Ia benar sejauhmana ia benar.

Dalam setiap kejadian dalam hidup, ada yang saya dapatkan dan ada yang saya korbankan. Tetapi, kehidupan saya sendiri tidak ditujukan untuk mendapatkan sesuatu dan mengorbankan sesuatu. Ada hal(-hal) yang lain yang menggerakan saya, yang itu bukanlah ‘hasrat keuntungan’ yang sederhana. Hal yang lain ini tidak diucapkan karena memanglah tidak perlu diucapkan. Sains tidak punya urusan dengan itu selama ia tidak berkaitan dengan pola.

Sementara sains yang semacam itu telah berkali-kali dikritik, dalam tingkatan ideologis ide ini mengontrol orang-orang untuk berpikir bahwa produksi dan konsumsi hanya mungkin terjadi dengan cara yang demikian orang-orang umumnya ketahui: harus ada sosok-sosok manusia yang menguasai sarana produksi dan menghisap tenaga buruh + bonus kemewahan (bourgeoisie), menjalankan produksi dan menerima upah (proletariat), dan memberi jaminan untuk model ekonomi ini dapat terus berjalan (negara borjuis dan aparatur ideologisnya).

Barangkali ini terdengar seperti propaganda komunis, tetapi sekalipun ide mengenai sosialisme baru menemukan karakteristik ilmiahnya belakangan ini, komunisme/sosialisme (saya memahami kata ini dalam artian mode produksi dan bukan ideologi politik tertentu) itu sendiri dan ide-ide tentangnya bukanlah hal yang baru muncul pada abad ke-19, yang maka dari itu saya pikir fobia komunisme lebih dekat pada kepentingan bourgeoisie (dan para penjil*tnya) daripada buruh-buruh semua yang bekerja keras untuk memenuhi setiap kebutuhan orang-orang.

Yah.. begitulah pandangan dunia saya. Saya cukupkan sekian ceritanya. Terima kasih.